Untuk apa Tuhan memberi manusia akal ?
jawabannya tak cukup hanya ‘ : ‘untuk
berfikir’ semata (jawaban demikian masih
bisa rancu) tetapi secara lebih spesifik lagi
biar jelas,adalah : agar manusia bisa
mengetahui benar dan salah.artinya
kemanapun-kepada problem yang
bagaimanapun rumitnya akal diterjunkan
maka ia akan selalu memuarakan
permasalahan itu pada : mana yang
benarnya dan mana yang salahnya.
Akal diciptakan sebagai alat baca konsep
dualisme sebab itulah karakter berfikir akal
itu selalu bersifat dualistik,ciri dari sifat
dualistik adalah cara berfikir yang sistematis-
mekanistik,hal itu bisa di cirikan dari
kesimpulan akal yang selalu memuarakan
segala suatu pada dualitas antara : benar -
salah,baik-buruk,selamat-celaka,ke kiri-ke
kanan,maju-mundur dst.
Sebagai contoh ; bila akal diterjunkan pada
permasalahan bank Century maka di ujung
akal akan memilah siapa fihak yang salah
siapa fihak yang benar,lalu tindakan yang
benar bagaimana dan sebagai
perbandingannya adalah : tindakan yang
salah adalah yang bagaimana.
Coba menyelesaikan masalah Century
dengan perasaan,maka yang akan terjadi
adalah pemihakan kepada salah satu fihak
yang disukai
Bila akal diterjunkan pada permasalahan
konflik Israel-Palestina maka akal akan
memilah antara : yang benarnya bagaimana
dan yang salahnya bagaimana.
Coba menyelesaikan masalah Israel-
Palestina dengan perasaan maka yang akan
terjadi adalah kemungkinan selalu
kecenderungan kepada memenangkan salah
satu fihak yang bertikai.
Begitu pula bila akal diterjunkan pada
permasalahan yang bersifat kompleks-
mendasar yang bersangkutan dengan Tuhan-
agama maka akal pun akan memilah antara
bagaimana pandangan yang benar-rasional
terhadap Tuhan-agama dan bagaimana
pandangan yang salah - tidak rasional
terhadap Tuhan-agama.
artinya akal akan
menyusun se abreg argumentasi tentang
Tuhan - agama secara rasional dalam arti
yang logika akal fikiran manusia bisa
menangkap dan memahaminya,sehingga ciri
dari agama yang sejati-sebenarnya adalah
yang yang akal fikiran manusia bisa
memahami-me rekonstruksikan serta
menerangkannya.
Coba menerjunkan perasaan pada
permasalahan seputar Tuhan-agama maka
bisa jadi yang akan lahir adalah perasaan
benci duluan,atau perasaan negatif
melulu,inginnya bermain stigma
melulu,inginnya bersangka buruk
melulu,sehingga anda mau memakai akal
atau perasaan ?
Bukan apa apa di Kompasiana pun terlalu
banyak yang menerjunkan perasaan ketika
berhadapan dengan permasalahan yang
berhubungan dengan Tuhan-agama,bahkan
ketika beragam argumentasi rasional
berusaha dikedepankan eh tetap saja
perasaan yang dipakai.lalu dimana akal
ditaruh ?
Perasaan itu terkadang malah lebih dekat
kepada pemikiran bebas spekulatif yaitu
kepada sebuah cara berfikir yang orientasi
lebih kepada kebebasan berfikir semata
bukan kepada cara berfikir yang tertata
untuk mencari benar-salah secara
tertata,sedang ciri berfikir akal adalah cara
berfikirnya yang tidak orientasi kepada
kebebasan semata (sebab akal mengenal
batasan-batasan, misal batas hidup adalah
mati,batas muda adalah tua dlsb.)
karena itu
cara berfikir akal itu tertata artinya
mengikuti batasan dualitas yang ada
seperti : benar-salah,hidup-mati,terang-
gelap dlsb.
Sebab itu ciri khas dari pemikiran bebas
spekulatif adalah tidak jelas antara mana
yang benarnya dan mana yang salahnya
sehingga jadilah disebut ‘bersifat spekulatif’
artinya tak jelas-tak pasti benar-salah nya
Coba saya mau tes : menurut anda
pernyataan Descartes : ‘aku berfikir karena
itu aku ada’ itu hasil dari cara berfikir yang
tertata ataukah hanya sebuah pernyataan
yang berasal dari pemikiran bebas spekulatif
semata ?
Untuk lebih jelas dalam membedakan mana
hasil rumusan cara berfikir akal dan mana
hasil rumusan ‘berfikir spekulatif’ maka
silahkan dinilai 2 pernyataan berikut,mana
yang rasional dan mana yang spekulatif.
1.ketertataan alam semesta hanya bisa
berasal dari adanya sang desainer
2.ketertataan alam semesta ada dengan
sendirinya alias terjadi secara ‘kebetulan’.
Mengapa pernyataan yang pertama harus
saya katakan ‘logis’-'rasional’ ? ya karena
contohnya bertebaran dimana mana : kursi-
mobil-komputer-rumah dlsb
semua adalah
benda yang didalam dirinya mengandung
unsur ketertataan dan PASTI semua memiliki
desainer nya sendiri sendiri tak bisa
mewujud secara sendirinya secara
‘kebetulan.
Sedang pernyataan kedua harus saya
katakan ‘bersifat spekulatif’ (tak pasti benar-
salahnya) sebab tidak pernah ada contohnya
dalam kenyataannya bahkan walau satu saja
pun,sehingga andai para saintis disuruh
untuk membuktikan bahwa dari kebetulan
bisa melahirkan ketertataan maka mereka
pasti akan kelabakan.
Sehingga yang terkadang aneh adalah
mengapa di zaman ini yang pikirannya
seringkali irrasional itu malah yang sudah
bergelar profesor sedang orang orang biasa
fikirannya memang sederhana tapi
rasional,coba saja tanya sama tukang angon
kambing,tukang beca atau mbok jamu :
apakah ketertataan alam semestya bisa
berasal dari kebetulan,maka secara koor
mereka akan sama sama bersuara : tak
mungkiiiiiiiiiiiiiiin………………………..
(Jadi kenapa ya,,, saya terkadang melihat
saintis yang bergelar profesor tapi jalan
fikirannya sering ‘irrasional’ ,sehingga apakah
terlalu banyak berspekulasi,berteori yang
rumit dan pelik itu bisa membuat cara
berfikir akal malah jadi berbeli belit,tidak
lagi bisa tertata secara sederhana ?……….)
Atau bagaimana kalau manusia berupaya
menyelesaikan berbagai kasus seperti kasus
bank Century-Hambalang-Israel - Palestina -
atau problem yang bersifat kompleks seperti
problematika yang berhubungan dengan
masalah ketuhanan dengan menggunakan
pemikiran bebas spekulatif sehingga benar-
salahnya menjadi tidak jelas-menjadi rancu…
namanya juga ber spekulasi.
Nah sekarang anda boleh menilai secara
jujur,diantara orang yang beriman dan yang
ateis mana sebenarnya yang mati matian
membuat rumusan-argumentasi rasional dan
mana yang lebih suka bermain di wilayah
pemikiran bebas spekulatif (yang tak jelas-
tak tertata benar-salahnya itu) ?
Dan kalau ‘perasaan’ manusiawi itu
terkadang suka lebih dekat ke pemikiran
bebas spekulatif maka : siapa yang lebih
suka bermain dengan ‘perasaan’ ?
Artikel : kompasiana
http://m.kompasiana.com/post/filsafat/2013/02/22/logika-akal-vs-pemikiran-bebas-spekulatif/
No comments:
Post a Comment